Pages

Sunday, June 17, 2012

Sebuah Tanya, Sepenggal Cerita, Sebutir Jerawat

Still in Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Sebuah Tanya, Sepenggal Cerita, Sebutir Jerawat

 
Sebuah tanya. Kenapa waktu berjalan begitu cepat. Atau mungkin pertanyaan yang lain, Kenapa aku tidak bisa secepat waktu.Seakan baru kemarin aku berpakaian hitam putih lengkap dengan dasi san dandanan super formal, kemudian say hello ke Graha ITS. Waktu itu, penyambutan Mahasiswa Baru. 

Tapi yang kurasa baru kemarin itu, ternyata telah terjadi 3 tahun yang lalu. Kemudian dalam selang waktu yang tak lama, seakan baru kemarin, aku pun berpakaian seperti itu. Baju putih, rok hitam, such a formal stuff. Kemudian menuju ruang eksekusi. Di ruang itu, gambarku yang pada dasarnya sudah tidak bernyawa, dibantai habis-habisan. Aku mungkin cukup kuat menjadi saksi tidak bisu atas pembantaian terang-terangan pada gambar-gambarku. Setidaknya, aku masih bisa tersenyum ketika para eksekutor tidak cukup puas membantai gambarku, kemudian menyerangku dengan pertanyaan bertubi-tubi. Tapi, beberapa orang yang berhati lembut tentu saja tidak tega melihat gambar-gambarnya dibantai begitu saja. Maka aku pun harus menjadi saksi tidak bisu lagi ketika seseorang yang biasa membuat aku dan teman-temanku tertawa, menitikkan air mata kesedihan atas bencana yang dialami gambarnya. Sebuah kejadian yang terlihat kejam, namun dilegalkan dan bahkan diharuskan dengan label Sidang Tugas Gambar. Sebuah kenangan indah tentang kebersamaan dan rasa senasib sepenanggungan dengan teman-temanku, namun itu tlah berlalu setengah tahun lalu.

Kini, sebentar lagi, aku harus memakai setelan itu lagi. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Itu bukanlah tentang acara bantai-membantai yang berlabel Sidang Tugas Akhir. Bukan pula sebuah pengujian tentang seberapa besar hasrat yang kupendam, dan direpresentasikan oleh sebuah jerawat di mukaku. Karena sesungguhnya aku tidak yakin pada korelasi jerawatku dan keinginan terpendam yang dengan terperinci dituliskan dosen pembimbingku dalam hipotesanya. Tapi begitu sidang itu berakhir, dan terbentuk buku dengan sampul hardcover berwarna biru imut-imu, maka akan segera datang waktu yang kusebut perpisahan. Padahal seolah baru kemarin aku berkutat dengan spesimen, memotret material dari berbagai sudut pandang dan berbagai pose. Tentu saja semua itu tak lepas dari jasa pembimbingku yang mengajarkan berbagai metode penghitungan, pengujian dan per-lobian. Mungkin sebutir jerawat yang sekarang sudah hampir lenyap dari mukaku tidak akan mampu menggambarkan apa yang kulakukan dan besarnya jasa dosen pembimbingku. Yang kutahu pasti, kini aku masih harus merevisi tulisanku, dan menerjemahkan tulisan Om Callister ke dalam bahasa manusia. Jadi, sebuah doa yang kusisipkan disini, agar bukuku cepat selesai. Amien....
Read more...