Pages

Saturday, November 7, 2009

toleransi dalam islam

Toleransi dalam Islam


"Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak (pula)
mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil." (Q.S. Al-Mumtahanah : 8).

Sekitar empat puluh tahun yang silam, datanglah ke Indonesia seorang
sejarawan terkemuka abad ini, asal Inggris, DR. Arnold J. Toynbee. Di
Indonesia ia merasa melihat keadaan yang "baginya aneh." Bangsa
Indonesia yang 90 persen taat pada agama Islam itu, ternyata adalah
bangsa yang paling lapang dada atau toleran, begitu kesaksian Toynbee.
Menurut Toynbee, toleransi Indonesia itu perlu dijadikan contoh.

Sesungguhnyalah, kaum muslimin adalah ummat yang paling toleran
(tasamuh : lapang dada) terhadap pemeluk agama lain, sebab agama Islam
memang mengajarkannya. Barangkali tidak ada agama yang begitu jelas,
tegas dan tuntas mengajarkan toleransi, sebagaimana halnya Islam;
bahkan toleransi itu merupakan ciri agama Islam. Indahnya lagi,
pelaksanaan praktek toleransi Islam ini terbukti dalam sejarah Islam
serta diakui dan dikagumi oleh banyak cendekiawan non-muslim di dunia
Barat maupun Timur.


Toleransi Islam : Aktif dan Positif
-----------------------------------
Keistimewaan ajaran Islam tentang toleransi ini ialah bahwa toleransi
Islam bukanlah toleransi yang pasif, melainkan aktif dan positif. Ia
bukan sekedar untuk "hidup berdampingan secara damai," melainkan lebih
dari itu aktif dan positif, yakni berbuat baik dan berlaku adil sekali
pun terhadap keyakinan orang lain. Di samping itu Islam juga memberi
perlindungan kepada mereka dari ancaman penindasan.

Tidak syak lagi bahwa toleransi -- yang merupakan "kata kunci" bagi
terwujudnya kehidupan heterogen yang harmonis -- adalah salah satu
sifat dan ciri yang menonjol ajaran Islam, dan sekaligus merupakan
kekuatan Islam. Berkat sikap yang toleran terhadap agama lain, Islam
dapat berkembang dengan pesat ke berbagai benua. Berkat toleransi
Islam, maka pemeluk agama lain di negeri Islam dapat hidup tenteram,
sebab mendapat perlakuan baik dari penguasa Islam.

Toleransi, yang bahasa Arabnya tasamuh adalah "sama-sama berlaku baik,
lemah lembut dan saling pemaaf." Dalam pengertian istilah umum,
tasamuh adalah "sikap akhlak terpuji dalam pergaulan, di mana terdapat
rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang
digariskan oleh ajaran Islam."

Setidak-tidaknya ada dua macam tasamuh. Pertama, tasamuh antar sesama
manusia muslim yang berupa sikap dan perilaku tolong menolong saling
menghargai, saling menyayangi, saling menasehati, dan tidak curiga
mencurigai. Kedua, tasamuh terhadap manusia non muslim, seperti
menghargai hak-hak mereka selaku manusia dan anggota masyarakat dalam
satu negara. Dengan kata lain, toleransi didasarkan atas
prinsip-prinsip : 1. bertetangga baik; 2. saling membantu dalam
menghadapi musuh bersama; 3. membela mereka yang teraniaya; 4. saling
menasehati, dan 5. menghormati kebebasan beragama.

Ajaran Islam tentang toleransi beragama atau hubungan antar ummat
beragama ini meliputi lima ketentuan, yakni :

Pertama, tidak ada paksaan dalam agama, "Tidak ada paksaan dalam agama
(karena) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
salah." (Q.S. Al-Baqarah : 256).

Kedua, mengakui eksistensi agama lain serta menjamin adanya kebebasan
beragama, sebagaimana digariskan dalam Q.S. Al-Kafirun :
Katakanlah : "Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa
yang kalian sembah dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan
kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku."
(Q.S. Al-Kafirun 1-6).

Ketiga, tidak boleh mencela atau memaki sesembahan mereka (Q.S. Al-
An'am : 108).

Keempat, tetap berbuat baik dan berlaku adil selama mereka tidak
memusuhi (Q.S. Al-Mumtahanah 8-9; Q.S. Fushshilat : 34).

Kelima, memberi perlindungan atau jaminan keselamatan. Pesan Nabi SAW,
"Barangsiapa menyakiti orang dzimmi berarti ia menyakiti diriku!"

Dari ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa toleransi yang diajarkan Islam
bukanlah toleransi yang pasif -- yang sekedar "menenggang, lapang dada
dan hidup berdampingan secara damai" -- tapi lebih luas lagi; bersifat
aktif dan positif, yakni untuk berbuat baik dan berlaku adil. Agama
Islam juga mengakui adanya orang-orang ahli kitab yang baik dan
perlunya perlindungan tempat-tempat ibadah agama lain (Q.S. Al-Ma'idah
: 82; Q.S. Al-Hajj : 40).


Praktek Toleransi Islam
-----------------------
Ajaran Islam tentang toleransi ini bukan hanya merupakan teori belaka,
tapi juga terbukti dalam praktek, sebagaimana tercatat dalam sejarah
Islam dan diakui oleh para ahli non-muslim. Sejak agama Islam
berkembang, Rasulullah SAW sendiri memberi contoh betapa toleransi
merupakan keharusan. Jauh sebelum PBB mencanangkan Declaration of
Human Rights, agama Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan
beragama. Melalui "Piagam Madinah" tahun 622 Masehi, Rasulullah SAW
telah meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antar ummat agama di
antara warga negara yang berlainan agama, serta mengakui eksistensi
kaum non muslim dan menghormati peribadatan mereka.

Ketika ummat Islam berkuasa di Spanyol selama hampir 700 tahun, soal
toleransi ini pun menjadi acuan dalam memperlakukan penduduk asli,
baik yang beragama Nasrani maupun Yahudi. Toleransi Islam ini juga
nyata di India, waktu Islam memerintah India, terutama pada masa
Sultan Akbar, Kesultanan Humayun Kabir, di mana kaum Hindu juga
mendapat keleluasaan.


Batas Toleransi
---------------
Sudah tentu sikap toleransi ini pun bukannya tanpa batas, sebab
toleransi yang tanpa batas bukanlah toleransi namanya, melainkan
"luntur iman."

Batas toleransi itu ialah, pertama : apabila toleransi kita tidak lagi
disambut baik atau ibarat "bertepuk sebelah tangan," di mana pihak
lain itu tetap memusuhi apalagi memerangi Islam. Kalau sudah sampai
"batas" ini, kita dilarang menjadikan mereka sebagai teman
kepercayaan.

Firman Allah SWT,
"Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan
kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir
kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir
kalian. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka
itulah orang-orang zhalim." (Q.S. Al-Mumtahanah : 9).

Akan tetapi hal ini tidak lantas berarti bahwa kita boleh langsung
membalas, melainkan lebih dulu menghadapinya dengan pendekatan untuk
"memanggil" atau menyadarkan. Bukankah Islam mengajarkan ummatnya agar
menolak kejahatan dengan cara yang baik?

"Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan)
dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dengannya
ada permusuhan itu seolah-olah menjadi teman yang setia." (Q.S.
Al-Fushshilat : 34).

Apalagi kalau yang "memusuhi" aqidah kita adalah orang tua kita
sendiri, maka penolakannya harus dengan cara yang lebih baik lagi dan
tetap bersikap sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tua
(birru al-walidain). Dengan kata lain, sekali pun berbeda agama atau
keyakinan dengan orang tua, namun dalam hubungan antar manusia (hablun
min an-nas), harus tetap baik. Setiap anak harus berbakti kepada kedua
orang tuanya. Akan tetapi kalau orang tua memaksa anak untuk berbuat
syirik, maka "fala tuthi'huma!" (jangan sekali-kali kamu ikuti), dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik -- demikian firman Allah
dalam surat Luqman : 15.

Wallahu'alam bishshowab

0 comments:

Post a Comment